Apakah AI Membuat Kita Lebih Pintar atau Justru Ketergantungan?

Refleksi dari Dunia Profesional yang Makin Melek Teknologi

Di era teknologi yang bergerak cepat seperti sekarang, kita makin sering mendengar nama-nama seperti ChatGPT, Midjourney, dan tools AI lainnya muncul dalam percakapan sehari-hari. Banyak yang sudah memanfaatkannya untuk mempercepat pekerjaan, mencari inspirasi, bahkan mendampingi pengambilan keputusan.

Tapi muncul satu pertanyaan menarik: “Apakah AI benar-benar membuat kita lebih produktif, atau diam-diam malah bikin kita jadi males mikir?”

Artikel ini mengangkat perspektif dari para profesional yang sudah akrab menggunakan AI dalam rutinitas kerja mereka. Ceritanya menarik, relatable, dan mungkin akan bikin kamu ikut mikir ulang soal cara kamu pakai AI sehari-hari.

AI: Dari Asisten Virtual Hingga “Otakku Kedua”

Britney Cole, seorang Chief Innovation Officer di Blanchard, adalah contoh nyata dari pengguna ChatGPT yang “totalitas.” Ia memanfaatkan AI untuk hampir semua hal—mulai dari menyusun email, membuat presentasi, merancang materi pelatihan, hingga ide menu makan malam.

Alih-alih merasa bodoh karena terlalu bergantung, Britney justru merasa lebih fokus dan efisien. “Pintar bukan berarti tahu segalanya. Pintar itu tahu kapan harus minta bantuan—termasuk ke AI,” ujarnya. Dengan mendelegasikan tugas-tugas repetitif ke AI, Britney mengaku bisa mencurahkan energi untuk hal-hal yang benar-benar penting: strategi, kreativitas, dan koneksi dengan tim maupun keluarga.

Bukan Pengganti Manusia, Tapi Partner Cerdas

Kekhawatiran soal AI yang bakal “merebut” pekerjaan manusia memang masih sering terdengar. Namun, kenyataannya tidak seburuk itu. Justru, ketika digunakan dengan bijak, AI bisa menjadi alat pemberdayaan yang sangat efektif—baik untuk individu maupun organisasi.

Ashley Vevoda, seorang profesional HR dan L&D, membagikan bagaimana ChatGPT membantu mempercepat proses perekrutan di organisasinya. Misalnya, membuat job description yang dulu butuh waktu hingga 2 jam, kini bisa selesai dalam 20 menit. Hasilnya? Tim bisa fokus ke hal yang lebih strategis.

Dan kabar baiknya: AI seperti ini bukan cuma bisa diakses perusahaan besar. Banyak tools generatif yang kini gratis atau berbiaya rendah—tinggal bagaimana kita mulai mencoba dan memanfaatkannya secara tepat.

Leadership Development di Era AI

Blanchard juga melangkah lebih jauh dengan menciptakan chatbot khusus untuk mendampingi peserta pelatihan kepemimpinan (SLII®️). Tujuannya sederhana: memastikan ilmu yang sudah dipelajari tetap terpakai setelah pelatihan selesai. Chatbot ini mampu menjawab pertanyaan, memberi pengingat, dan bahkan menyediakan tips praktis secara real-time.

Kolaborasi AI & Human Touch: Kunci Masa Depan Organisasi

Meski AI terbukti mempercepat banyak proses, para praktisi tetap sepakat bahwa sisi manusia tetap krusial. Empati, intuisi, dan pengalaman adalah hal-hal yang belum bisa digantikan oleh mesin.

“AI bisa bantu kita menyusun strategi. Tapi intuisi dan empati tetap datang dari manusia,” tegas tim Blanchard. Mereka percaya bahwa masa depan pengembangan kepemimpinan dan manajemen akan ditentukan oleh kolaborasi yang harmonis antara teknologi dan sentuhan manusia.

Kesimpulan: AI Bukan Soal Canggih-Canggihan, Tapi Cara Kita Menggunakannya

Dari cerita di atas, jelas terlihat bahwa AI bisa menjadi alat yang sangat bermanfaat—jika digunakan dengan niat dan arah yang tepat. Bukan untuk menggantikan manusia, tapi untuk memperkuat kapabilitas manusia dalam menghadapi tantangan kerja modern.

Jadi, pertanyaannya sekarang bukan lagi: “Apakah AI akan mengambil pekerjaan kita?”

Tapi lebih ke: “Bagaimana kita bisa menggunakan AI untuk bekerja lebih cerdas, bukan lebih keras?”

Mungkin sudah saatnya kita mulai menjadikan AI sebagai partner kerja, bukan sekadar tools sementara. Karena pada akhirnya, masa depan bukan hanya milik mereka yang tahu teknologi, tapi mereka yang tahu bagaimana memanfaatkannya untuk berkembang.